Rodhamine B, Pewarna Berbahaya ?
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna
berbahaya. Rhodamine B termasuk salah satu zat pewarna yang dinyatakan sebagai
zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan (Syah et al.
2005). Namun demikian, penyalahgunaan rhodamine B sebagai zat pewarna pada
makanan masih sering terjadi di lapangan dan diberitakan di beberapa media
massa. Sebagai contoh, rhodamine B ditemukan pada makanan dan minuman seperti
kerupuk, sambal botol dan sirup di Makassar pada saat BPOM Makassar melakukan
pemeriksaan sejumlah sampel makanan dan minuman ringan (Anonimus 2006).
Rhodamine B termasuk zat yang apabila diamati dari
segi fisiknya cukup mudah untuk dikenali. Bentuknya seperti kristal, biasanya
berwarna hijau atau ungu kemerahan. Di samping itu rhodamine juga tidak berbau
serta mudah larut dalam larutan berwarna merah terang berfluorescen. Zat
pewarna ini mempunyai banyak sinonim, antara lain D and C Red no 19, Food Red
15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine dan Brilliant Pink B. Rhodamine biasa
digunakan dalam industri tekstil. Pada awalnya zat ini digunakan sebagai
pewarna bahan kain atau pakaian. Campuran zat pewarna tersebut akan
menghasilkan warna-warna yang menarik. Bukan hanya di industri tekstil,
rhodamine B juga sangat diperlukan oleh pabrik kertas.
Fungsinya sama yaitu sebagai bahan pewarna kertas
sehingga dihasilkan warna-warna kertas yang menarik. Sayangnya zat yang
seharusnya digunakan sebagai pewarna tekstil dan kertas tersebut digunakan pula
sebagai pewarna makanan. Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai
1984 karena rhodamine B termasuk karsinogen yang kuat. Efek negatif lainnya
adalah menyebabkan gangguan fungsi hati atau bahkan bisa menyebabkan timbulnya
kanker hati (Syah et al. 2005). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa zat
pewarna tersebut memang berbahaya bila digunakan pada makanan. Hasil suatu
penelitian menyebutkan bahwa pada uji terhadap mencit, rhodamine B menyebabkan
terjadinya perubahan sel hati dari normal menjadi nekrosis dan jaringan di
sekitarnya mengalami disintegrasi. Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan
adanya piknotik (sel yang melakukan pinositosis) dan hiperkromatik dari
nukleus, degenerasi lemak dan sitolisis dari sitoplasma (Anonimus 2006).
Dalam analisis yang menggunakan metode destruksi yang kemudian diikuti dengan analisis metode spektrofometri, diketahui bahwa sifat racun rhodamine B tidak hanya disebabkan oleh senyawa organik saja tetapi juga oleh kontaminasi senyawa anorganik terutama timbal dan arsen (Subandi 1999). Keberadaan kedua unsur tersebut menyebabkan rhodamine B berbahaya jika digunakan sebagai pewarna pada makanan, obat maupun kosmetik sekalipun. Hal ini didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan bahwa timbal memang banyak digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna dalam industri kosmetik dan kontaminasi dalam makanan dapat terjadi salah satu diantaranya oleh zat pewarna untuk tekstil.
Penambahan zat pewarna pada makanan dilakukan untuk memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menstabilkan warna dan menutupi perubahan warna selama penyimpanan. Penambahan zat pewarna rhodamine B pada makanan terbukti mengganggu kesehatan, misalnya mempunyai efek racun, berisiko merusak organ tubuh dan berpotensi memicu kanker. Oleh karena itu rhodamine B dinyatakan sebagai pewarna berbahaya dan dilarang penggunannya. Pemerintah sendiri telah mengatur penggunaan zat pewarna dalam makanan. Namun demikian masih banyak produsen makanan, terutama pengusaha kecil, yang menggunakan zat-zat pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat yang pada umumnya mempunyai warna yang lebih cerah, lebih stabil dalam penyimpanan, harganya lebih murah dan produsen pangan belum menyadari bahaya dari pewarna-pewarna tersebut.
Dalam analisis yang menggunakan metode destruksi yang kemudian diikuti dengan analisis metode spektrofometri, diketahui bahwa sifat racun rhodamine B tidak hanya disebabkan oleh senyawa organik saja tetapi juga oleh kontaminasi senyawa anorganik terutama timbal dan arsen (Subandi 1999). Keberadaan kedua unsur tersebut menyebabkan rhodamine B berbahaya jika digunakan sebagai pewarna pada makanan, obat maupun kosmetik sekalipun. Hal ini didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan bahwa timbal memang banyak digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna dalam industri kosmetik dan kontaminasi dalam makanan dapat terjadi salah satu diantaranya oleh zat pewarna untuk tekstil.
Penambahan zat pewarna pada makanan dilakukan untuk memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menstabilkan warna dan menutupi perubahan warna selama penyimpanan. Penambahan zat pewarna rhodamine B pada makanan terbukti mengganggu kesehatan, misalnya mempunyai efek racun, berisiko merusak organ tubuh dan berpotensi memicu kanker. Oleh karena itu rhodamine B dinyatakan sebagai pewarna berbahaya dan dilarang penggunannya. Pemerintah sendiri telah mengatur penggunaan zat pewarna dalam makanan. Namun demikian masih banyak produsen makanan, terutama pengusaha kecil, yang menggunakan zat-zat pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat yang pada umumnya mempunyai warna yang lebih cerah, lebih stabil dalam penyimpanan, harganya lebih murah dan produsen pangan belum menyadari bahaya dari pewarna-pewarna tersebut.
Pangan
merupakan komoditi utama dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dewasa ini,
jenis pangan yang dijual di pasaran sangat beraneka ragam dan tidak
jarang mengandung bahan tambahan makanan. Salah satu bahan tambahan
pangan itu adalah zat pewarna. Tujuan
penggunaan zat pewarna pada pangan antara
lain untuk membuat pangan menjadi lebih
menarik, menyeragamkan warna pangan, serta
mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama
pengolahan.
Zat
pewarna yang digunakan dalam produksi
pangan dapat berupa zat pewarna alami
maupun sintetis/buatan. Zat pewarna alami dapat
diperoleh dari pigmen tanaman, misalnya warna
hijau yang didapat dari klorofil dedaunan
hijau dan warna oranye-merah yang berasal
dari karotenoid wortel.
Sedangkan
zat pewarna sintetis merupakan zat pewarna
yang sengaja dibuat melalui pengolahan industri.
Zat pewarna sintetis biasanya digunakan karena
komposisinya lebih stabil, seperti Sunset yellow FCF
yang memberi warna oranye, Carmoisine untuk warna merah, serta
Tartrazine untuk warna kuning. Pada produk pangan
yang perlu dihindari adalah penggunaan zat
pewarna yang berlebihan, tidak tepat, dan
penggunaan zat pewarna berbahaya yang tidak
diperuntukkan untuk pangan karena dapat memberikan dampak
negatif terhadap kesehatan.
Penggunaan
zat pewarna baik alami maupun buatan
sebagai bahan tambahan makanan telah diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/MenKes/Per/VI/88 mengenai Bahan Tambahan Makanan.
Sedangkan zat warna yang dilarang digunakan
dalam pangan tercantum dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 239/MenKes/Per/V/85 mengenai
Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai
Bahan Berbahaya
Dalam
peraturan-peraturan tersebut, pemerintah mengatur
bahan tambahan makanan apa saja yang diperbolehkan dan batas maksimum
penggunaannya.
Salah
satu pewarna sintetis yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan
pangan adalah Rhodamin B. Rhodamin B merupakan
pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal,
berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak
berbau, dan dalam larutan akan berwarna
merah terang berpendar/berfluorosensi.
Rhodamin
B merupakan zat warna golongan xanthenes dyes yang
digunakan pada industri tekstil dan kertas, sebagai pewarna kain,
kosmetika, produk pembersih mulut, dan sabun. Nama lain rhodamin B
adalah D and C Red no 19. Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine, dan
Brilliant Pink. Bahan pangan yang masih menggunakan
rhodamin B pada produknya mungkin dapat
disebabkan oleh pengetahuan yang tidak memadai
mengenai bahaya penggunaan bahan kimia
tersebut pada kesehatan dan juga karena
tingkat kesadaran masyarakat yang masih
rendah. Selain itu, rhodamin B sering
digunakan sebagai pewarna makanan karena harganya relatif lebih murah daripada
pewarna sintetis untuk pangan, warna yang dihasilkan lebih menarik
dan tingkat stabilitas warnanya lebih baik daripada pewarna alami.
Rhodamin
B sering disalahgunakan pada pembuatan
kerupuk, terasi, cabe merah giling, agar-agar,
aromanis/kembang gula, manisan, sosis, sirup,
minuman, dan lain-lain. Ciri-ciri pangan yang
mengandung rhodamin B antara lain warnanya cerah mengkilap dan
lebih mencolok, terkadang warna terlihat tidak homogen
(rata), ada gumpalan warna pada produk, dan bila
dikonsumsi rasanya sedikit lebih pahit. Biasanya produk
pangan yang mengandung rhodamin B tidak mencantumkan kode, label,
merek, atau identitas lengkap lainnya.
Bahaya
Rhodamin B bagi Kesehatan
Menurut
WHO, rhodamin B berbahaya bagi kesehatan manusia karena sifat kimia dan
kandungan logam beratnya. Rhodamin B mengandung senyawa
klorin (Cl). Senyawa klorin merupakan senyawa halogen
yang berbahaya dan reaktif. Jika tertelan, maka senyawa ini akan berusaha
mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara mengikat senyawa lain dalam tubuh,
hal inilah yang bersifat racun bagi tubuh. Selain itu, rhodamin B
juga memiliki senyawa pengalkilasi
(CH3-CH3) yang bersifat radikal sehingga dapat
berikatan dengan protein, lemak, dan DNA dalam tubuh.
Penggunaan
zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai
1984 karena rhodamin B termasuk bahan karsinogen (penyebab
kanker) yang kuat. Uji toksisitas rhodamin B yang dilakukan terhadap
mencit dan tikus telah membuktikan adanya efek
karsinogenik tersebut. Konsumsi rhodamin B
dalam jangka panjang dapat terakumulasi di dalam tubuh dan dapat
menyebabkan gejala pembesaran hati dan ginjal, gangguan
fungsi hati, kerusakan hati, gangguan
fisiologis tubuh, atau bahkan bisa menyebabkan
timbulnya kanker hati.
Penatalaksanaan
Keracunan
Pada
umumnya, bahaya akibat pengonsumsian rhodamin B akan muncul jika zat warna ini
dikonsumsi dalam jangka panjang. Tetapi, perlu
diketahui pula bahwa rhodamin B juga
dapat menimbulkan efek akut jika tertelan sebanyak 500
mg/kg BB, yang merupakan dosis toksiknya. Efek toksik yang
mungkin terjadi adalah iritasi saluran cerna. Jika hal tersebut
terjadi maka tindakan yang harus dilakukan antara lain segera berkumur,
jangan menginduksi muntah, serta periksa bibir dan mulut jika ada
jaringan yang terkena zat beracun. Jika terjadi
muntah, letakan posisi kepala lebih rendah
dari pinggul untuk mencegah terjadinya muntahan masuk ke saluran
pernapasan (aspirasi paru). Longgarkan baju, dasi, dan ikat pinggang untuk
melancarkan pernapasan. Jika diperlukan segera bawa pasien ke rumah sakit
atau dokter terdekat.
Pencegahan
Keracunan
Hindari
penggunaan rhodamin B dalam pangan dan hindari mengonsumsi makanan
yang mengandung rhodamin B. Lebih lengkapnya, untuk mencegah
efek jangka panjang dari rhodamin B akibat
tertelan secara tidak sengaja, maka lebih
baik dilakukan tindakan pencegahan dalam memilih
pangan, dengan cara:
Lebih
teliti dalam membeli produk pangan,
misalnya dengan menghindari jajanan yang
berwarna
terlalu menyolok, terutama jajanan yang dijual di pinggir jalan.
Mengenali
kode registrasi produk, misalnya produk pangan sudah terdaftar di Badan
POM atau
untuk
pangan industri rumah tangga sudah terdaftar di Dinas Kesehatan setempat.
Tidak
membeli produk yang tidak mencantumkan informasi kandungannya pada labelnya.
Pustaka:
1.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/MenKes/Per/VI/88 mengenai Bahan Tambahan
Makanan.
2.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
239/MenKes/Per/V/85 mengenai Zat Warna Tertentu
yang
Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya.
3.
O'Neil, Maryadele J. et al, 2006, The Merck Index, Merck Sharp
& Dohme Corp., a subsidiary of
Merck
& Co., Inc.
4.
Sentra Informasi Keracunan, Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI.
2005 Pedoman
Pertolongan
Keracunan untuk Puskesmas, Buku IV Bahan Tambahan Pangan.
5.
http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9924812
6.
http://www.lookchem.com/msds/2009-6/Rhodamine%20B.pdf
7.
http://scienceray.com/technology/pick-up-doom-when-using-rhodamin-b-in-food/
8.
http://www.drugfuture.com/toxic/q8-q871.html